Sesunguhnya Umat Yang Adil, Bukan Umat Pertengahan (Moderat), seperti yang dikampanyekan kelompok liberal untuk menghancurkan Islam.
Allah SWT berfirman:
]وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُواْ شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا[
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." (TQS. Al-Baqarah [2]: 143).
Dalam menafsiri ayat ini, sebagian berpendapat bahwa al-wasathiyyah (pertengahan) adalah apa yang ada di antara dua sisi, pihak atau kelompok. Sementara Islam adalah agama pertengahan (dînul wasathiyyah). Sebab, yang di tengah itu lebih baik dari yang di kedua sisi. Kemudian dari kesimpulan ini, dibangun kaidah yang menjadi pijakan setiap pemikiran dan hukum. Untuk itu dibuatkanlah contoh tentang sikap pertengahan (moderat) Islam antara sikap berlebihan kaum Nasrani yang menjadikan Isa ‘alaihis salâm sebagai anak atau Tuhan, dengan kesembronoan kaum Yahudi yang membunuh para nabi mereka. Dengan demikian, Islam adalah agama pertengahan (moderat) antara berlebihan dan kesembronoan. Artinya di dalam Islam tidak ada penyembahan dan pembunuhan terhadap nabi. Akan tetapi Islam berada di antara kedua sikap itu. Pendapat ini salah dilihat dari beberapa aspek.
Pertama, kata wasathan-yang diartikan pertengahan-adalah sifat bagi umat bukan bagi agama. Jika perbandingannya antara kaum Muslim dengan para pengikut nabi-nabi terdahulu, yang mereka itu sama-sama mengimani dan membenarkan para nabi itu, maka semuanya adalah kaum Mukmin, sehingga tidak ada pertengahan antara iman dengan iman. Dan jika perbandingannya adalah antara umat Islam dengan orang yang mengklaim pengikut Musa dan Isa ‘alaihimâs salâm setelah diutusnya Muhammad Saw, maka sesungguhnya mereka itu adalah kafir berdasarkan Ijma’. Kaum Yahudi dan Nasrani adalah kafir. Sehingga, bagaimana mungkin kaum Muslim sebagai pertengahan (wasathan) antara kekufuran dengan kekufuran? Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan ini.
Kedua, Allah SWT telah menetapkan umat ini di dalam al-Qur’an sebagai umat terbaik. Allah SWT berfirman:
]كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ[
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (TQS. Ali Imran [3]: 110).
Sementara itu, Rasulullah Saw menafsiri kata “wasathan” itu dengan ‘adâlan (keadilan). Imam at-Tirmidzi mengeluarkan hadits dari Abi Sa’id al-Khudri dari Nabi Saw terkait firman Allah:
]وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا[
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasathan." (TQS. Al-Baqarah [2]: 143). Beliau bersabda: “Umat yang ‘adlan (adil).”
Terkait dengan hadits ini, Abu Isa berkata, bahwa hadits ini statusnya Hasan Shahih. Dengan demikian, makna kata wasathan adalah ‘adlan (adil), yakni akhyâran (yang terbaik).
Az-Zujaj berkata: “Wasathan, yakni ‘adlan. Sebagian lagi berkata “Akhyâran”, terbaik atau pilihan. Kedua lafadz ini berbeda, namun artinya sama. Sebab, adil itu baik, dan baik itu sendiri adalah adil.” Al-Baghawi berkata: “Wasathan, yakni ‘adlan wa khiyâran”, adil dan terbaik atau pilihan.” Sementara al-Qurthubi berkata: “Bukanlah termasuk makna al-wasath, yaitu berada pada sesuatu di antara dua sesuatu.”
Ketiga, Allah SWT menyebutkan dan menyifati umat ini dengan firman-Nya “wasathan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia. Sementara kesaksian menuntut keadilan. Allah menginginkan kaum Muslim agar menjadi saksi atas (perbuatan) manusia pada hari kiamat, maka Allah menetapkan keadilannya dengan firman-Nya “wasathan”.
Keempat, “wasthun” dengan disukunkan sin-nya dan “wasathun” dengan difathahkan sin-nya digunakan untuk makna dzorfiyah (keterangan tempat), seperti sabda Rasulullah Saw:
«لَعَنَ اللهَ مَنْ جَلَسَ وَسَطَ الحَلَقَةِ»
“Allah melaknat orang yang duduk di tengah-tengah orang-orang yang duduk melingkar (halaqah).” (HR. Abu Dawud). Atau kamu berkata: “Saya duduk di tengah-tengah rumah (wasatha ad-dâr).”
Kata “wasatha atau wastha” di sini di-nashab-kan, karena sebagai dzorfiyah (keterangan tempat) atau maf’ûl fîh. Terkadang kata “wasatha atau wastha” dekat dengan makna dzorfiyah (keterangan tempat), dan tidak diposisikan sebagai dzorf. Kata “wasatha atau wastha” di sini bermakna di antara dua sisi, seperti kamu berkata: “Saya memegang di antara kedua ujung tali (wasathal habli).” Posisi (i’rab) kata “wasatha atau wastha” di sini sebagai maf’ûl bih (obyek).
Yang ingin ditegaskan di sini adalah, bahwa kata “wasatha” di dalam ayat tersebut adalah sifat. Sehingga artinya bukan berada di antara dua sesuatu. Sedang mereka yang menafsiri kata “wasatha” dengan dzorfiyah (keterangan tempat), atau berada di antara dua sesuatu, maka tidak seperti yang mereka inginkan. Namun kata “wasatha” di dalam ayat yang mulia tersebut, adalah sebagai sifat, dan tidak bisa dibawa pada pengertian yang lain. Dalam hal ini benar Imam al-Qurthubi ketika beliau berkata: “Bukanlah termasuk makna al-wasath, yaitu berada pada sesuatu di antara dua sesuatu.”
Kelima, perkataan mereka bahwa kami berada di antara sikap berlebihan kaum Nasrani dan kesembronoan kaum Yahudi, yakni kami berada di antara dua sikap, yaitu menjadikan Isa sebagai Tuhan, dan membunuh para nabi. Perkataan ini salah. Sebab kami tidak berada di antara kedua sikap itu. Bahkan sama sekali bertentangan dengan keduanya. Kami tidak membunuh dan tidak menjadikan Muhammad Saw sebagai Tuhan. Lalu, bagaimana kami berada di antara keduanya. Jika kami berada di tengah, dalam arti berada di antara dua sikap, yaitu Yahudi tentang kesembronoannya, dan Nasrani tentang keberlebihannya. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Adapun argumentasi mereka bahwa kami berada di tengah-tengah antara sanksi Yahudi, yaitu mata dibalas dengan mata, dengan apa yang dikatakan dari kaum Nasrani bahwa apabila ditempeleng pipi kananmu, maka berikanlah pipi kirimu. Sementara di agama kami (Islam), sanksi beruapa mata dibalas dengan mata, serta qishos atas ar-Rabi’ yang mematahkan gigi seri budak perempuan merupakan kejadian yang terkenal. Begitu juga, Umar menjatuhkan sanksi kepada putra al-Akramin, putra Amr bin Ash, ketika Umar memvonis qishos, yaitu tempelengan dibalas dengan tempelengan. Lalu, di mana sikap pertengahan (moderat) di antara kedua pihak itu?!
Yang jelas, sikap pertengahan (moderat) merupakan kaidah berfikir Kapitalisme, dan sama sekali bukan dari Islam, sekalipun tidak sedikit orang yang berusaha menghubungkan sikap pertengahan (moderat) itu dengan Islam!
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 6/12/2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar