Rabu, 15 Desember 2010

Proyek Memberangus Kaum Radikal Oleh BNPT-MUI

Nampaknya, ada upaya masif menyeret para ulama dalam kontra-terorisme yang digagas oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT kerjasama dengan MUI, terus mengkosolidasikan para ulama untuk melakukan langkah-langkah deradikalisasi di kalangan umat Islam.
Tak kurang dari 100 orang dari berbagai Ormas Islam se-Jatim dan pengurus MUI Gerbangkertosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, dan Lamongan), hadir memenuhi undangan MUI Jatim untuk hadir dalam acara Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme. Acara serupa diselenggarakan di enam kota besar Indonesia, meliputi Jakarta (11 Nopember), Solo (21 Nopember), Surabaya (28 Nopember), Palu (12 Desember) dan rencana terakhir di Medan (30 Desember).
Penggagas acara ini adalah MUI Pusat dan Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN) yang diketuai oleh Wahyu Muryadi (Pimred Majalah Tempo).


Tema acara itu sendiri adalah “Peranan Ulama dalam Mewujudkan Pemahaman Keagamaan yang Benar’. Acara tersebut dihadiri oleh Wakil Ketua MUI Pusat Din Syamsuddin yang membuka acara dan Deputi Badan Intelejen Negara yang memberikan keynote speechmewakili Kepala BIN. Selain Kepala BNPT dan Kapolda Jatim, pembicara lainnya adalah Ketua MUI Jatim (KH Abdushomad Bukhari).
Dari tiga kali pelaksanaan agenda ini, Jakarta, Solo dan Surabaya terungkap pandangan yang ambigu dari pihak BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Saat di Jakarta misalnya, Kepala BNPT Inspektur Jenderal (Purn) Ansyaad Mbai, Sabtu (11/11) berujar, “Penyusupan ajaran radikal semakin luas, sudah masuk hingga ke perguruan-perguruan tinggi elite, bukan perguruan tinggi pinggiran. Bahkan, menyusup ke perkantoran dan memengaruhi karyawan.”
Menurutnya, distorsi pemahaman yang menjadi fondasi terorisme itu perlu dicegah melalui pendekatan lunak dengan mengedepankan peran ulama untuk meluruskan pemahaman yang menyimpang itu.
Di Solo, terpapar ada sebuah upaya masif untuk memasukkan para ulama dalam pusaran proyek kontra-terorisme ini. Karena terungkap pandangan bahwa bagian dari soft strategi melawan radikalisme dan “terorisme” caranya adalah melibatkan ulama yang langsung bersentuhan dengan masyarakat akar rumput secara aktif dalam upaya deradikalisasi ajaran agama. Ulama di tingkat ini berperan penting untuk meluruskan pemahaman, terutama terhadap masyarakat dan simpatisan yang telah terpapar paham radikal.
Sementara itu, Wakil Ketua Tim Penanggulangan Terorisme MUI Atho Mudzhar mengatakan, pemahaman keliru yang perlu diluruskan antara lain penyempitan makna jihad dan menyamakan konsep inghimas (jibaku) dengan bom bunuh diri. Kekeliruan lain, kata Atho, Daulat Utsmaniyyah dianggap paling ideal sehingga ketika jatuh dianggap sebagai kejatuhan Islam.
Padahal, daulat ini juga mewujudkan imperialisme sehingga bukan yang paling ideal. “Banyak yang bermimpi kembali tegaknya khilafah seperti masa Daulat Utsmaniyyah. Mereka juga hanya mau mendengarkan ulama yang mengangkat senjata, seperti Osama bin Laden, dan menepikan ulama yang dianggapnya hanya duduk-duduk,” kata Atho. Tentu ini pandangan nyleneh dan tendensius.
Dari pengamatan di lapangan, setiap agenda Halqoh Nasional ini dihadiri para petinggi Polri, BIN dan pejabat BNPT. Sekalipun acara tersebut digagas MUI bersama FKPMN, sulit rasanya kalau tidak dikaitkan bahwa ini adalah proyek BNPT, dengan meminjam tangan para praktisi media yang memiliki kedekatan secara personel dengan para pejabat Polri dan BNPT.
Jika ditelisik, terasa ganjil kenapa MUI dalam surat keputusannya tanggal 19 Oktober 2010 tentang pembekan panitia Halqoh Nasional ini mengandeng FKPMN? Bahkan fakta di lapangan yang dihadirkan adalah orang-orang yang merepresentasikan kepentingan BNPT, dari para pejabat Polri, BIN dan BNPT. Begitu juga dari beberapa personel yang selama ini dikenal luas memiliki pandangan yang miring terhadap upaya penerapan syariah dan Khilafah.
Di beberapa tempat Halqoh Nasional tampak ada upaya untuk redefinisi jihad, dan bahkan telah membatasi definisi tertentu terhadap terorisme. Padahal persoalan definisi ini tidak satupun ada kesepakatan. Mereka justru meninggalkan fokus pembahasan akar masalah yang sesungguhnya.
Di mana AS menjadi biang kerok instabiltas social-politik-ekonomi dan kemanan diberbagai belahan dunia Islam dengan GWOT (Global War On Terrorism)-nya dan menjadi acuan dari proyek WOT di level local Indonesia. Karenanya agenda ini (Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme) seolah menjadi bagian dari legitimasi atas stigmasi terorisme yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang nyaris tanpa ada koreksi.
Kontra-terorisme yang berjalan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari proyek 'War on Terorrism'. Lantas acara Halqoh Nasional ini sesungguhnya untuk siapa? Seharusnya ulama jangan terjebak dalam arus proyek GWOT ini. Bocoran dokumen dari Wikileaks cukup menjadi bukti, kejahatan AS atas dunia Islam adalah sebuah benar adanya dengan menggunakan instrument dan jargon melawan terorisme. Dan bisa berjalan mulus akibat sokongan para penguasa negeri Islam yang menjadi budak-budaknya.
Densus 88 Sering Langgar HAM Saat Gerebek Teroris
Cara penangkapan dan penggerebekan terduga teroris oleh Densus 88 disoroti oleh Komnas HAM. Lembaga pelindung hak asasi manusia itu menilai, Densus 88 sering kali melanggar HAM saat beraksi memberantas terorisme.
“Atas nama perang melawan terorisme, tentunya tidak dapat dijadikan pembenar bagi Densus 88 untuk mengabaikan norma-norma HAM. Khususnya sebagai dalih pembenar untuk melakukan tindakan ekstra judicial killing,” ujar Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim. Hal itu disampaikan Ifdhal dalam jumpa pers Catatan Akhir Tahun Komnas HAM di Hotel Sahid Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (10/12).
Data yang dimiliki Komnas HAM, setidaknya ada sejumlah terduga teroris yang tewas saat penggerebekan Densus 88. Tiga teroris yang ditembak mati di Aceh, lima di Serdang, tiga di Tangerang, tiga di Cawang, dan dua di Tanjungbalai, Karimun.
“Sejumlah terduga teroris yang tertembak dan akhirnya meninggal dalam beberapa kasus tidak bisa diidentifikasi peranannya atau salah sasaran yang jarang dijelaskan kepada publik,” kata Ifdhal.
Selain itu, ada juga korban salah tangkap oleh Densus 88. Komnas HAM banyak menerima laporan dari korban yang salah tangkap. Data Komnas HAM, 16 orang yang ditangkap di Jakarta dan Bekasi, 11 orang di antaranya dibebaskan. Sementara di Medan, dari 21 terduga teroris yang ditangkap, lima orang dibebaskan. (detik.com)
Penjara Cipinang Bakal Dipenuhi Anggota Dewan
Kemungkinan, sejumlah sel tahanan di Jakarta akan dipenuhi penghuni baru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hampir menyelesaikan penyidikan 25 politikus tersangka kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia pada 2004.
Menurut seorang pejabat di KPK, kasus yang berkaitan dengan "travel check" itu, "Sudah 80 persen," ujarnya. Jika tak ada aral melintang, Desember ini kasus para legislator itu akan disidangkan. Meskipun, seorang tersangka yang konon menerima Rp 1,4 milyar, Panda Nababan dari PDIP tetap menolak diperiksa kembali oleh KPK.
Para anggota DPR itu ditetapkan sebagai tersangka pada awal September lalu, para anggota Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 itu, mereka umumnya masih hidup dengan bebas.
Mereka terdiri atas 10 politikus Partai Golkar, 14 anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan 2 orang dari Partai Persatuan Pembangunan. Mereka diduga menerima Rp 150 juta hingga Rp 1,4 miliar, berupa cek pelawat, melalui Nunun Nurbaetie, istri Adang Daradjatun, mantan Wakil Kepala Kepolisian RI yang kini politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Siapa yang menjadi biang keladinya, pemberi cek itu, masih buntu. Meskipun, seluruh anggota legislatif itu mengakui cek itu diberikan oleh Nunun Nurbaiti melalui stafnya Ari Malangyudo. Namun, Nunun Nurbaetie, yang berkali-kali dipanggil untuk dimintai keterangan, tetap mangkir dengan alasan kehilangan memori dan tinggal di Singapura. (eramuslim)
Menjalankan Syariat, Malah Dicopot dari Jabatan
Perlakuan kurang beruntung terjadi pada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Majalengka, Jawa Barat, Alviand Deswaldy. Pasalnya, baru-baru ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) mencopotnya setelah diketahui telah menikah lagi secara sirri.
Menurut Kejagung, Kepala Kejaksaan Negeri Majalengka itu dianggap melakukan perbuatan melanggar etika profesi jaksa.
Sikap tegas Jaksa Agung Basrief Arief, diambil setelah mendapat pengaduan dari istri Alviand sendiri. Selain Alviand, Kejagung juga mencopot Kajari Arga Makmur (Bengkulu), Maizan Jafrie, serta Kajari Gunung Sugih (Lampung), Djamin Susanto.
Sementara Kajari Gunung Sugih dicopot karena dinilai terlalu arogan dan sering menakut-nakuti orang lain. "Dia juga sering urus perkara perdata, padahal bukan lingkup kerja dia sebagai jaksa pengacara negara," ucap Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM Was) Marwan Effendy, Jumat (10/12), dikutip Jawa Pos.
Menanggapi ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH. Abdussomad Bukhori mengatakan, kasus seperti ini memang dilema. Sementara dalam hukum Islam pernikahan itu sah. Di sisi lain, hukum positif Indonesia dianggap melanggar.
Menurut Abdussomad, banyak masalah di Indonesia lebih butuh perhatian daripada nikah sirri. “Banyak masalah di tempat kita, lebih baik memerangi masalah korupsi dan perzinahan daripada masalah nikah sirri,” tambahnya.
Harits Abu Ulya
Ketua Lajnah Siyasiyah HTI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar