Kamis, 21 November 2013

Sebagaimana yang diungkap harian Inggris Guardian dan harian Australia The Sydney Morning Herald (18/11), presiden SBY telah lama yang menjadi target penyadapan Badan Intelijen Australia (DSD) . Bukan hanya SBY  tapi juga Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wapres, Menko Perekonomian, Dubes RI untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal, mantan Menkeu RI yang kini menjabat Direktur Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati, dan mantan Menpora Andi Mallarangeng turut disadap.
Penyadapan itu dilakukan terhadap ponsel Nokia E-90-1 yang digunakan Presiden SBY dan Ani Yudhoyono, serta BlackBerry Bold 9000 yang dipakai Wakil Presiden Boediono.
Meskipun penyadapan dalam komunitas internasional memang hal yang biasa, namun bukan berarti  hal seperti ini dimaklumi begitu saja. Apalagi penyadapan dilakukan oleh negara tetangga yang selama ini dianggap mitra strategis bahkan sahabat. Juga bukan berarti, negara yang disadap kemudian hanya diam dalam pemakluman. Karena bagaimanapun penyadapan terhadap negara sahabat adalah pengkhianatan dan tindakan yang mempermalukan.
Bahwa Australia menyesal namun tidak mau minta maaf, itu urusan mereka. Setiap negara tentu selalu berpikir untuk kepentingan nasional mereka. Yang kita pertanyakan justru sikap pemimpin kita, yang justru tidak memikirkan kepentingan negara kita. Tidak berani melakukan tindakan tegas. Bahkan ikut-ikutan  berusaha memaklumi tindakan Australia. Padahal Australia telah  melakukan pengkhianatan dan mempermalukan Indonesia. Lihatlah, sungguh mengherankan yang ‘dihukum’ justru Duta Besar Indonesia untuk Australia yang disuruh pulang, bukannya Dubes Australia untuk Indonesia yang diusir.

 
Persoalan utama bangsa ini bahwa kita adalah negara pembebek. Secara ideologi, negara kita membebek kepada Barat. Pembebek akan selalu menjadi pecundang. Meskipun mengklaim memiliki ideologi Pancasila, namun pada praktiknya kita adalah negara kapitalis yang sekuler. Sayangnya, kita negara kapitalis objek penderita bukan subjek (pelaku). Jadilah kita hanya menjadi bulan-bulanan dari negara Kapitalis subjek.
Doktrin diplomasi kita yang sifatnya bertahan (defensif)- untuk tidak mengatakan sikap pengecut- jelas mempengaruhi bagaimana kita menyusun pradigma dan arah politik luar negeri kita. Kita akan selalu menganggap negara lain sebagai sahabat. Strategi pertahanan dan keamanan kita sifatnya hanya defensif. Wajar kalau kita menjadi bulan-bulanan negara imperialis.
Sementara Australia dengan ideologi kapitalis subjeknya selalu memposisikan Indonesia sebagai ancaman. Ungkapan Indonesia adalah negara sahabat,hanya retorika politik saja. Maka wajar kalau Tony Abbot , PM Australia, menganggap tindakan Australia adalah sah-sah saja dan dia tidak perlu minta maaf.
Bukti paling nyata dari pengkhianatan dan kebohongan persahabatan Australia adalah lepasnya Timor Timur. Sebelumnya berulang-ulang Australia mengatakan tidak mendukung integrasi Timor Timur. Namun pada faktanya Australia  berperan penting sebagai pemain utama lepasnya negeri itu dari kita. Tentu saja disamping kebodohan kita sebagai penyebab paling utama.
Untuk disegani sebagai negara ideologi negara kita harus jelas. Dan ideology itu tidak bisa bersifat lokal atau sekedar bertahan. Negara kuat haruslah memiliki ideology global dan bersifat ofensif. Negara-negara Barat kuat kerena mereka benar-benar mengadopsi ideology kapitalisme yang sifatnya global dan ofensif.
Merekapun dengan gencar dan sungguh-sungguh menyebarluaskan ideology mereka ke dunia. Sebab semakin banyak negara yang mengadopsi ideology mereka, negara-negara Barat sebagai Subjek utama ideology Kapitalis akan semakin kuat.
Seperti yang dikatakan Goerge W. Bush saat menjadi presiden AS, tentang pentingnya penyebarluasan nilai-nilai freedom dan demokrasi . Bush berpidato : “ Jika kita mau melindungi negara  kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan  adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi” (Kompas, 6/11/2004).
Untuk bisa menghadapi penyadapan ini beberapa langkah yang harus kita lakukan antara lain : Pertama, menjadikan Islam sebagai landasan ideologi dan menjadi dasar dari negara Khilafah yang kuat.  Untuk menjadi negara kuat, tidak ada pilihan buat Indonesia dan negeri-negeri Islam lain kecuali kembali kepada Islam. Menjadikan Islam sebagai ideology negara dengan membangun negara yang kuat yaitu Khilafah Islam.
Islam sebagai ideology akan menjadi landasan yang kuat, sebab Islam bersumber dari Allah SWT. Islam juga bersifat universal, karena itu akan mampu memberikan kebaikan  pada dunia. Ideologi Islam juga bersifat ofensif, agar dunia mendapatkan rahmatan lil ‘alamin dari ajaran Islam yang penuh kebaikan. Untuk itu dibutuhkan negara Khilafah yang akan menerapkan dan menyebarluaskan Islam keseluruh penjuru dunia.
Kedua, memperjelas status hubungan diplomatik dengan negara-negara lain di dunia. Salah satu kelemahan diplomasi negeri-negeri muslim saat ini adalah kesalahan menetapkan siapa musuh siapa sahabat. Padahal perkara ini sangat penting. Karena sikap kita terhadap musuh pasti berbeda terhadap sahabat. Musuh seharusnya ya diperlakukan sebagai musuh: diwaspadai, dilawan, kalau perlu diperangi. Berbeda dengan sahabat.
Untuk itu, Islam memberikan kriteria yang jelas dalam berdiplomasi. Terdapat negara yang disebut Daulah muharibah fi’lan. Mereka ini  adalah negara kafir yang terang-terangan memusuhi Islam dan kaum Muslim. Contohnya, seperti AS, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina.
Sedangkan daulah muharibah hukman adalah negara-negara kafir yang dihukumi sebagai musuh Islam dan kaum Muslim, tetapi tidak secara terang-terangan melakukan permusuhan. Dihukumi demikian, karena mereka tidak terikat dan mengikatkan diri dalam perjanjian damai dengan negara Islam. Contohnya, Jepang, dan Korea Selatan.
Terakhir adalah daulah mu’ahadah, negara yang terikat dan mengikatkan diri dalam perjanjian damai dengan negara Islam. Negara seperti ini, sebenarnya termasuk dalam kategori muharibah hukman, terutama ketika masa perjanjiannya telah berakhir.
Sikap politik dasar negara Islam (Khilafah) terhadap semua negara tadi pada dasarnya adalah “hubungan perang”. Meski secara riil, belum tentu berperang. Namun, sikap dasar ini penting untuk ditegaskan agar senantiasa muncul kesadaran dan kewaspadaan terhadap negara-negara tersebut. Dengan sikap dasar ini, maka strategi pertahanan dan keamanan negara bisa dibangun dengan tepat dan efektif.
Misalnya, ketika AS, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina ditetapkan sebagai negara kafir harbi fi’lan, berarti hubungan yang terjadi antara negara Islam dengan mereka adalah hubungan perang, bukan hubungan damai, apalagi persahabatan. Dalam kondisi hubungan perang, maka hubungan diplomatik antara kedua negara pasti tidak ada. Kedutaan mereka di negeri-negeri kaum Muslim juga tidak ada.
Ketika ada warga negara mereka yang memasuki wilayah negeri-negeri kaum Muslim, maka mereka ditetapkan sebagai musta’min (orang yang masuk dengan visa). Itupun dengan catatan, bahwa mereka masuk untuk belajar Islam, bukan yang lain. Jika mereka melakukan mata-mata, maka mereka bukan hanya wajib dideportasi, tetapi bisa juga dijatuhi hukuman mati.
Langkah ketiga, adalah memiliki pemimpin yang berani. Konsekuensi dari negara Khilafah yang kuat dengan ideologi Islam yang kuat, adalah kebutuhan adanya pemimpin yang kuat dan berani. Pemimpin yang berani bersikap tegas terhadap musuh dan bisa lembut terhadap sahabat dan rakyatna. Seperti ketegasan Rosulullah SAW sebagai kepala negara yang kemudian diikuti oleh para Kholifah.
Rasulullah saw. pernah mengusir Yahudi Bani Qainuqa’ dari Kota Madinah setelah sebelumnya mengepung mereka. Hal ini terjadi karena pembunuhan yang mereka lakukan terhadap seorang Muslim yang dikeroyok di pasar Madinah karena membela kehormatan seorang Muslimah. Rasulullah saw. pun memerangi Yahudi Bani Quraizhah karena telah berkhianat dalam Perang Ahzab. Selama 25 hari berturut-turut pasukan Islam yang dipimpin Imam Ali ra. mengepung pemukiman Yahudi itu. Musuh-musuh yang memerangi umat Islam itu pun dihukum mati. Inilah sikap tegas dan berwibawa dari seorang kepala negara yang menjadi pelindung (junnah) bagi rakyatnya.
Hal yang sama dilakukan  Khalifah Al-Mu’tashim ketika mendengar jeritan seorang Muslimah di Ammuriyah yang dinodai oleh pasukan Romawi.  Khalifah kemudian memimpin pasukannya dengan 4000 balaq (kuda) untuk membebaskan wanita yang masih memiliki garis keturunan dengan Rasulullah saw. itu sekaligus menaklukkan Ammuriyah.
Langkah keempat, tentu menguasai teknologi penyadapan dan anti penyadapan yang canggih. Karena penyadapan ini mungkin dilakukan musuh, termasuk juga perlu dilakukan oleh negara Khilafah terhadap musuh. Negara harus serius dan sungguh-sungguh mengembangkan teknologi penyadapan maupun anti penyadapan. Negara bisa mengumpulkan para pakar-pakar dari negeri-negeri Islam yang jumlahnya banyak. Menyiapkan dana yang besar untuk penelitian dan pengembangan teknologi ini. Dan tentu saja memberikan gaji yang besar bagi para ilmuwan yang berjasa terhadap negara.
Walhasil, tidak diterapkannya syariah Islam dalam hubungan diplomasi negeri-negeri Islam, membuat kita menjadi negara pecundang. Sudah dirampok, dibunuh, masih penganggap perampok itu sebagai sahabat. Disamping itu, penguasa negeri Islam yang tidak berpegang pada ‘izzah Islam telah menjadikan mereka sebagai penguasa yang pembebek  dan pengecut. Tidak bisa bertindak tegas terhadap musuh. Karena itu solusi ganti sistem dang anti rezim dengan Khilafah Islam menjadi sangat penting.Mari kita berjuang bersama ! (Farid Wadjdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar