Kamis, 11 Agustus 2011

Capres Diributkan, Rakyat Diabaikan

[Al islam 569] Pemilihan Presiden berikutnya masih 3 tahun lagi, tapi sejumlah parpol sudah bersiap-siap mencari capres yang akan dijagokan. Partai Golkar sudah bersiap-siap mencalonkan ketua umumnya, Aburizal Bakrie, sebagai capres yang akan diusung (detiknews.com,5/8).
Sementara itu PKS melalui politisinya Zulkieflimansyah berancang-ancang menduetkan Menko Polhukam Joko Suyanto dan pengusaha Trans Corp Chairul Tandjung sebagai pasangan capres-cawapres (detik.com,5/8). Namun wasekjen DPP PKS Mahfudz Shiddiq membantah kabar tersebut (pedomannews.com,5/8)
Pendatang baru, partai SRI (Serikat Rakyat Independen) dengan tegas menyatakan akan mengusung mantan menkeu Sri Mulyani sebagai capres. Bahkan seperti dikutip detiknews.com (5/8), Arbi Sanit yang juga pendiri partai SRI serius menyatakan bahwa keputusan itu adalah harga mati. Partainya akan bubar jika Sri Mulyani menolak menjadi capres.
Sementara itu di kubu PDIP meski menolak untuk menyebutkan kandidat capres di pemilu 2014, akan tetapi mereka tidak menolak seandainya Megawati Soekarnoputri dicalonkan kembali sebagai capres.
Adapun Partai Demokrat yang kini berkuasa belum membahas kandidat capres mereka. Presiden SBY selaku pembina Partai Demokrat, menyatakan tidak akan mencalonkan anak dan istrinya sebagai capres. Sebaliknya, menurut Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsuddin istri Presiden SBY, Ani Yudhoyono, qualified sebagai capres dan dukungan internal partai terhadapnya cukup kuat (detiknews.com, 5/8).


Tidak Pantas
Ramainya pembicaraan kandidat capres-cawapres memang mengherankan. Pemilu pilpres masih tiga tahun lagi. Banyak kalangan menilai hal ini jauh dari kepantasan. Pasalnya wacana itu bergulir saat masyarakat sedang fokus pada penyelewengan kekuasaan, korupsi dan politik uang di berbagai parpol.
Aneh memang, di tengah bertumpuknya masalah bangsa, terutama persoalan korupsi di berbagai instansi pemerintah termasuk DPR pusat dan Daerah, juga penyelewengan kekuasaan, dan kasus skandal suap oleh mantan bendahara Partai Demokrat Nazaruddin yang diduga kuat melibatkan banyak kalangan termasuk ke dalam tubuh KPK, para politisi dan parpol justru memperlihatkan tabiat haus kekuasaan mereka.
Padahal berbagai masalah bangsa ini juga banyak ditimbulkan oleh perilaku kotor dan ambisius kekuasaan mereka. Korupsi oleh anggota DPR dari pusat hingga daerah, praktek politik uang di pilkada, jual beli kursi DPR, korupsi oleh kepala daerah adalah bukti bahwa parpol menjadi tempat pembenihan penyelewengan kekuasaan. Karena para pelaku korupsi itu adalah anggota parpol dan atau didukung oleh parpol saat pemilu dan pilkada.
Maraknya pembicaraan kandidat capres juga menunjukkan parpol dan para politisi itu tidak punya perasaan dan tak peduli dengan persoalan rakyat. Di tengah penderitaan yang membelit rakyat banyak, konsentrasi parpol malah (lagi-lagi) hanya pada kursi kekuasaan. Padahal kemiskinan dan keterbelakangan negeri ini kian memprihatinkan. Sebagai catatan, saat ini, utang Indonesia sudah mencapai Rp 1.900 Triliun. Pemerintah pun didesak agar tidak lagi mengandalkan dana dari utang luar negeri sebagai salah satu sumber untuk membiayai pembangunan di dalam negeri. Semakin besar negeri ini mengandalkan utang, makin besar pula kemungkinan bahaya yang bisa menghancurkan perekonomian negeri ini. Persoalan utang itu seharusnya lebih pas menjadi “debat panas” para politisi dan parpol, di DPR dan pemerintah, bukan soal kandidat capres.
Melihat ambruknya perekonomian Amerika Serikat dan Inggris akibat utang, seharusnya pemerintah, parpol dan DPR serius menanggapi hal ini. Jumlah utang luar negeri Indonesia sampai kwartal I 2011 mencapai 214,5 miliar dolar AS, meningkat 10 miliar dolar AS dibanding posisi akhir 2010 (republika.co.id, 5/8/2011).
Sementara itu, negeri ini terus menerus menjadi importir sembako. Untuk beras, setiap tahun Indonesia mengimpornya dari Thailand dan Vietnam. Jumlahnya terus meningkat setiap tahun hingga mencapai 282,92% selama Januari hingga Juni 2011 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Indonesia juga mengimpor daging ayam dari Malaysia. Pada semester I tahun 2011 ini, jumlahnya mencapai 9 ton dengan nilai US$ 29,24 ribu. Indonesia juga mengimpor teh sebanyak 6,54 ribu ton dengan nilai US$ 11 juta selama 6 bulan pada tahun ini.
Meski memiliki pantai sangat panjang mencapai jutaan kilometer, ironisnya negeri ini justru mengimpor garam. Garam diimpor negeri ini terbesar dari Australia, selain dari India, Singapura, Selandia Baru dan Jerman. Total impor garam sampai Juni 2011 mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 95,42 juta (detikfinance.com, 7/8).
Yang memalukan, bangsa ini juga mengimpor singkong. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia mengimpor ubi kayu dengan total 4,73 ton dengan nilai US$ 21,9 ribu dari Januari hingga Juni 2011. Negara Italia merupakan negara dengan nilai terbesar yaitu US$ 20,64 ribu dengan berat 1,78 ton. Sedangkan Cina merupakan negara penyuplai ubi kayu impor terbesar yaitu 2,96 ton dengan nilai US$ 1.273.
Rakyat juga bertubi-tubi dihantam dengan melejitnya harga barang kebutuhan hidup sebelum ataupun selama bulan Ramadhan. Mendekati lebaran, biasanya harga barang akan kembali meroket. Belum lagi setiap menjelang lebaran rakyat juga terus kesulitan mendapatkan transportasi yang terjangkau dan layak. Setiap tahun kita akan disuguhi dan dipaksa membeli tiket dengan harga selangit akibat tuslah, padahal kualitas pelayanannya tidak pernah membaik. Apalagi untuk penumpang kelas ekonomi mereka diperlakukan nyaris bukan seperti manusia.
Ini adalah gambaran betapa bangsa ini terus terpuruk, tidak mandiri dan mengandalkan bangsa lain. Ironinya, para penguasa, parpol dan politisi seperti tak peduli dengan kondisi ini. Para penguasa dan parpol biasanya baru mendekati rakyat menjelang pemilu dan pilkada. Dengan bujuk rayu, janji-janji manis dan sedikit uang, sembako dan kaos mereka membujuk rakyat untuk memilih mereka atau wakil-wakil mereka. Inilah siklus lima tahunan yang tidak akan pernah berubah di alam demokrasi di negeri ini.
Perubahan Total
Walau berulangkali dibuat kecele dengan hasil pemilu — baik pemilu legislatif maupun presiden –, juga dalam pilkada, rakyat masih tetap percaya bahwa pergantian kepemimpinan adalah solusi bagi masalah bangsa. Mereka masih termakan pola lama; bila pemimpinnya baik maka nasib rakyatnya akan baik, bila pemimpinnya buruk maka nasib rakyatnya akan buruk.
Padahal jika direnungkan, meski sudah berulangkali berganti kepemimpinan, sejak masa orde lama hingga orde reformasi, kondisi negeri ini justru kian memburuk. Inilah bukti persoalan bangsa ini bukan hanya pada suksesi kepemimpinan. Siapapun yang akan menjabat tampuk kekuasaan akan tetap menjalankan pola pemerintahan yang sama; demokrasi di atas landasan sekulerisme. Hasilnya? Tetap sengsara.
Meski di orde reformasi kehadiran parpol Islam dan sejumlah kecil syariat Islam dilaksanakan, tapi tak sebanding dengan kemunkaran yang terjadi. Perzinahan kian merebak, kejahatan meningkat dan penyelewengan kekuasaan serta korupsi menggila. Rakyat cukup dipuaskan dengan amalan zikir dan shalawat berjamaah, tarawih bersama pejabat, dsb. Sementara semangat untuk melaksanakan syariat Islam tetap dikerdilkan bahkan mengalami stigmatisasi. Dicap radikal bahkan dituduh menjadi inspirasi gerakan terorisme.
Tidak usah heran pula bila melihat rakyat dan pejabat negeri ini bisa bermuka dua. Di satu kesempatan hadir di majlis taklim bersama alim ulama dan habaib, tapi di saat lain hadir di panggung hiburan bersama biduanita yang sensual, atau terlibat suap menyuap. Bahkan mereka juga ikut-ikutan membebek agenda Barat untuk memerangi perjuangan penerapan syariat Islam. Al-Quran menggambarkan sifat dan sikap seperti itu sebagai milik orang-orang munafik yang diancam ditempatkan di keraknya neraka.
Allah SWT. juga telah mengingatkan kita agar tidak mengangkat orang-orang yang lebih condong pada kekufuran dan kezaliman sebagai pemimpin, karena mereka hanya akan mengantarkan umat ini pada kesengsaraan yang lebih dalam lagi.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا ءَابَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan (QS. at-Taubah [9]: 23).
Para pemimpin seperti itu hanya akan memikirkan kepentingan diri mereka sendiri. Bagaimana mereka bisa peduli pada rakyat, kalau Allah SWT. yang telah menciptakan dan memberikan rizki pada mereka saja sudah diabaikan?
Wahai kaum muslimin
Persoalan sesungguhnya umat hari ini adalah tidak diterapkannya hukum Allah. Bukankah Allah telah menurunkan al-Quran yang menjelaskan jawaban atas segala persoalan umat manusia? Bukankah ayat-ayat al-Quran itu yang banyak dibaca di bulan nan agung ini? Lalu kenapa hukum-hukum yang al-Quran yakni hukum-hukum Allah terus saja diabaikan? Maka saatnya kita sudahi semua itu dengan segera berjuang penuh kesungguhan untuk menerapkan Syariah Islam dalam bingkai al-Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Jika tidak bagaimana nanti kita menjawab pertanyaan Allah berikut ini?
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50)
WalLâh a’am bi ash-shawâb.[]
Komentar al-Islam
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional soal kepercayaan masyarakat yang menurun terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini tidak dilihat oleh DPR sebagai alasan pembubaran KPK. (Republika, 9/8)
  1. Wajar KPK sulit memberantas korupsi. Selama masih menggunakan sistem politik demokrasi, korupsi akan terus terjadi. Sebab akar masalahnya adalah sistem politik demokrasi itu sendiri.
  2. Terapkan sistem Islam niscaya korupsi akan terbasmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar