Ushul Fiqih Kaum Liberal, Memangnya ada?
Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul fiqih? Pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu. Jangan-jangan setelah sibuk mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. Ini sama saja dengan memasak pepesan kosong. Untuk itu, patut diketahui dahulu pengertian ushul fiqih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fiqih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fiqih adalah kaidah-kaidah (qawa'id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbath) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, ushul fiqih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fiqih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum.
Dari berbagai defenisi itu, topik (mawadhu) ushul fiqih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqih hlm.29), meliputi 4 (empat) kajian yaitu:
(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmaliyyah), misalnya al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
(2) Kajian tentang hukum syariat (al-Hukum asy-syar'i) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti defenisi hukum syariat dan macam-macamnya.
(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalil) atau pengertian kata (dalalah al-alfazh), misalnya tentang manthuq (makna eksplisit) dan mahfum (makna implisit)
(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan tarjih (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta'arudh).
Nah, kalau defenisi ushul fiqih dan cakupan kajiannya itu ditetapkan pada ide-ide ushul fiqih kaum liberal, apakah mereka memang memiliki ushul fiqih sendiri?
Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fiqih di kalangan kaum liberal- mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya-tidak lebih dari sekedar teori belaka, tanpa kenyataan. Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fiqih, dalam defenisi yang sesungguhnya.
Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam. Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal h. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur'an, karena Bible dan al-Qur'an sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image h. 53) menegaskan, "The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur'an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam)." (Adian Husaini, "Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal," www.insistnet.com).
Walhasil, ushul fiqih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fiqih? Hasan at-Turabi, misalnya,dikenal menyerukan pembaruan (tajdid) di bidang ushul fiqih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu'ashir edisi November 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-'Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fiqih, bukan hanya dalam fiqih (Said, 1995: 266).
Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fiqih baru. nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam as-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwafaqat fi al-Ahkam, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fiqih 'baru', semisal:
(1) Al-'Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh ( yang menjadikan patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
(2) Jawaz naskah nushush bi al-maslahah (boleh nash dengan maslahat);
(3) Tanqih nushush bi 'aql al-mujtama' (boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik) (www.islamlib.com,publikasi 24/ 12/2003).
Bukankah ini adalah ushul fiqih karya kaum liberal???
Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fiqih-seperti kaidah-kaidah ushul di atas-sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fiqih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur, bukan untuk melahirkan fiqih yang shahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fiqih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fiqih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fiqih sejati, melainkan pseudo ushul fiqih, alias ushul fiqih palsu.
Paradigma Ushul Fiqih Liberal
Mengapa ushul fiqih mereka palsu? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fiqih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fiqih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.
Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fiqih demokratis, sebagai hasil dari adaptasi ushul fiqih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqih nushush bi 'aql al-mujtama' (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapa] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadits cocok dengan selera publik (baca:demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.
Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya.
Nah, untuk mengobati 'si sakit' itu, lalu muncul 2 macam upaya 'penyembuhan' dengan dua paradigma yang sangat berbeda:
(1) Paradigma sekular, yaitu mengambil 'obat' dari peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modern atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M,Said, 1995:127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum 'obat' peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dst). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256).
(2) Paradigma Islam, yaitu mengambil 'obat' dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A'la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dst). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme. dan gender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Sebenarnya, ini modus yang sangat jahat. Akan tetapi, kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat, bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterprestasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Kedua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLDKHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad. (Tempo,7/11/2004, h. 47).
Padahal draft tersebut---yang konon menggunakan ushul fiqih alternatif---telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antaragama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLDKHI telah menundukkan ushul fiqih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep Gender, pluralisme, HAM, dan Demokrasi. Mengapa semua itu terjadi? Karena ushul fiqih kaum liberal adalah ushul fiqih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi 'obat', tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya, 'si sakit' jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat.
Penutup
Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran kaum liberal. Sebab mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat. Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar utang luar negeri; bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intelectual (intelektual pengemis).
Wallahu 'alam bishawab
*Rindy..

SEminar Pluralisme Di IAIN-SU..Pembicara: ULIL ABSAR ABDALA & Dr.Phill.ZAINUL FUAD (Directur Pluralisme,Democracy & HAM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar