Senin, 27 Desember 2010

“Menguak Kepentingan Proyek Deradikalisasi dan Kontra Terorisme” (News Reportase Dari Kota Medan, Kapolda:TIDAK ADA" TERORISME" DI MEDAN!)


Oleh: HAU/Pengamat Kontra-Terorisme
Siapa yang tidak kenal dengan Densus88?, hampir semua orang Indonesia familier dengan satu nama ini. Apalagi dalam isu tertentu selalu tampil bak bintang film dan “pahlawan”. Tapi tidak semua orang tau tentang sebuah lembaga baru yang bernama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), dipimpin seorang yang selevel menteri dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Apa bedanya antara dua institusi diatas? Yang paling penting adalah, BNPT memiliki kewenangan luas dan khusus di bidang kontra-terorisme. Dan Densus88 bisa menjadi bagian dari instrument yang akan di jadikan alat paling efektif  (sebagai follower) dari kebijakan BNPT. Apalagi isi BNPT juga nyaris bukan orang baru, banyak orang Densus88 di tarik menjadi Deputi atau direktur di Lembaga baru yang dibentuk  melalui kepres no 46 tahun 2010, resmi di teken Presiden tanggal 16 Juli 2010. Masyarakat luas bisa melihat “sok pahlawannya” seorang Petrus Golose (salah satu direktur BNPT) ketika  membeber “keberhasilannya” menangkap dan membawa “buron” Fadli Sadama, yang di beri gelar “otak” perampokan Bank CIMB di Medan. Petrus sebelumnya di Densus88, dan sejak BNPT berjalan maka isu-isu terkait “terorisme” orang-orang BNPT yang sering tampil di muka media. Jadi istilahnya, muka lama di halaman baru.


 Orang lama di lembaga baru, dan  sampai saat ini belum terbuka di hadapan public tentang mekanisme control terhadap kerja lembaga BNPT ini. Apakah ada kecondongan mengulang kelaliman rezim orde baru dengan  Kopkamtib-nya  atau Opsus-nya dengan membuat cerita “komando jihad” dan semisalnya.Waktu akan membuktikan, karena sejauh ini kita mengamati cerita “teroris” menjadi alat yang cukup efektif untuk membungkam  aspirasi umat Islam yang kritis terhadap sikon kehidupan politik berbangsa dan bernegara.
Hal yang menarik dari BNPT, keseriunnya melakukan langkah “lembut” dalam payung strategi yang bernama “deradikalisasi”.Nah, disinilah cukup menarik untuk disimak bahwa  ketika mengandeng MUI pusat untuk  membangun minstream pemikiran seperti  apa yang ada dalam benak  BNPT, ternyata dilapangan  tidak bisa berjalan dan landing mulus diterima oleh audien yang hadir dalam acara “halaqoh Nasional Penanggulangan Terorisme”. Audien begitu kritis, karena melihat banyak kesenjangan dan kejanggalan antara “niat baik” BNPT dengan fakta dilapangan yang membuat umat Islam ini merasa terdzalimi. Sebuah fakta yang tidak bisa diingkari; extra judicial killing terhadap orang-orang yang disangka “teroris”, seolah berjalan nyaris tanpa koreksi.
Rencana Halqoh Nasional ini terakhir di Medan (30 Desember), tapi sangat mungkin juga akan mengalami resistensi. Ini bisa di lihat, katika Hizbut Tahrir Indonesia –Sumut membuat Halqoh Islam dan Peradaban, dengan mengangkat tema yang cukup pedas “ Menguak Kepentingan di balik Proyek kontra-terorisme dan Deradikalisasi”. Yang di hadiri lebih dari 400 orang, dan setengahnya adalah dari kalangan ulama, tokoh umat Islam, akademisi, intelektual, aktifis. Di dalam acara diatas, mereka mendapatkan “pencerahan” yang cukup  menyadarkan diri mereka, betapa isu terorisme itu adalah sebuah proyek yang sarat kepentingan. Kepentingan global dan  regional, dengan meminjam orang-orang local yang opurtunis.
Apalagi jika peserta jeli mengikuti penjelasan Kapolda Sumut, dari point per point. Akhirnya bisa di pakai sebagai ukuran untuk menimbang sesungguhnya apa yang terjadi. Khususnya cerita “terorisme” di kota Medan dan sekitarnya tidak laku. Sekalipun ada upaya tangan-tangan kotor orang opurtunis untuk terus menjaga keberlangsungan cerita bahwa peristiwa yang pernah terjadi di Medan (perampokan CIMB) adalah “terorisme”.Tapi semua upaya itu terlihat mentok, kerena seorang Irjen (pol) Oegroseno  mengajarkan didalam institusi Tri Brata pentingnya penindakan seluruh kasus harus on the track (diatas aturan yang benar), tidak ngawur main cabut  nyawa bak malaikat maut.Dan melihat dari TKP kasus perkasus sesuai  ketentuan hukum, dan kasus perampokan CIMB adalah kasus PERAMPOKAN oleh KELOMPOK BERSENJATA, bukan aktifitas TERORISME.
 "Tak ada teroris di Sumut!" Demikian statemen tegas dari Kapolda Sumut Irjen Pol Oegroseno dalam acara Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme, di Garuda Plaza Hotel, Minggu(26/12).Pembicara lain, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto dan praktisi hukum Abdul Hakim Siagian.  
"Pada kasus penyerangan Polsek Hamparan Perak misalnya. Ketika saya tanyakan kepada tersangka mereka mengaku hanya mengincar tiga orang polisi sebagai aksi balasdendam atas teman mereka yang ditembak beberapa waktu sebelumnya. Ini murni kriminal," ungkap Kapolda. Kapolda juga mengkritisi defenisi "teroris" yang sering disematkan pada ummat Islam. Di sisi lain, ia sendiri tidak menemukan adanya upaya teror seperti defenisi yang dimaksud pada rentetan peristiwa Hamparan Perak, Tanjungbalai dan perampokan CIMB Niaga, Medan.
Selain itu, langkah penggerebekan yang dilakukan oleh Densus 88 juga disayangkan karena tidak ada koordinasi dengan aparat setempat. "Lahir 3 orang janda yang suami mereka ditembak mati ditempat dengan tuduhan melakukan aksi teror. Padahal bukti itu tidak ada, sampai detik ini," sebut Kapolda lagi yang disambut teriakan takbir oleh peserta halqoh. Sementara itu Abdul Hakim Siagian, menyebut, ada upaya terorganisir bagaimana menunggangi segala isu untuk kepentingan asing. Densus 88 sudah melakukan pelanggaran HAM berat padahal, belum ada keputusan tetap yang mengatakan mereka ini adalah teroris.
 "Lalu dari mana isu itu muncul? Ini kasus yang penuh intrik dan konspirasi dari Barat, mengingat Amerika sangat takut dengan kekuatan Ummat Islam yang dapat menggeser hegemoni mereka atas penjajahan di Indonesia," sebut Abdul Hakim. Abdul Hakim juga mengatakan, rekomendasi terkait yang dilakukan Densus 88 juga sudah ditolak oleh Mahkamah Agung. "Proyek kontra terorisme yang dikomandoi oleh BNPT sebenarnya adalah satu proyek yang ingin melegalkan terorisme defenisi mereka jika itu benar-benar ada. Sementara terorisme itu belum ada defenisi yang jelas. Itu hanya opini media yang terlalu digemborkan atas konspirasi yang sengaja disetting oleh Amerika, lagi-lagi untuk kepentingan modal," sebut Abdul Hakim Siagian lagi.

Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto menyebut, ada upaya untuk menunggangi semangat perlawanan terhadap penjajahan Amerika dengan mengaburkan makna jihad. "Kata teroris gencar berdengung pasca tragedi menara kembar WTC yang juga sarat dengan muatan konspirasi. Banyak keanehan yang sudah diungkap para pakar. Menyusul statemen dari Amerika yang memisahkan orang-orang bersama Amerika atau bersama teroris. Itu artinya, yang tidak mendukung Amerika atas segala tindakan kriminal dan penjajahannya adalah teroris," sebut Ismail Yusanto lagi.
Ia juga berharap, para ulama yang diundang BNPT nanti hendaknya bersikap kritis terhadap program deradikalisasi yang hendak dirumuskan. Jangan sampai, program deradikalisasi justru menggiring ulama untuk menjadi corong dan jurubicara Densus 88. Halqoh juga diselenggarakan di beberapa kota besar lainnya.
Pasca kehadiran Kapolda Sumut  dalam acara HIP-Hizbut Tahrir Indonesia Sumut, disatu tempat dan kesempatan terbatas berjalan berdua dia sambil merangkul saya kemudian dia berguman lirih; sudah saatnya  tidak ada dusta diantara kita, sudah saatnya kita berani bicara kebenaran apa adanya tanpa ada lagi rekayasa”. Masih banyak lagi cerita yang membuat saya dalam menghela nafas, dan dari intuisi saya muncul sederet dugaan : pasti orang-orang Jakarta gerah dan tidak suka dengan pilihan sikapnya. Dan kalimat berikutnya buyar setelah tersadarkan suara: “Baik mas, saya jalan dulu  nanti ketemu lagi”, ungkap Jendral yang satu ini.Jawaban saya :InsyaAllah (HAU/27 Des 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar