Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mensinyalir adanya upaya gerakan politis dalam peristiwa penusukan pendeta dan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing, Bekasi. Hal itu dikemukakan usai menerima Gerakan Peduli Pluralisme (GPP) di Kantor MUI Pusat, Jakarta Sabtu (18/9).
Menurut Ketua MUI Amrullah Ahmad, substansi masalah dari peristiwa Ciketing adalah masalah perizinan peribadatan yang sebenarnya sudah diatur dalam peraturan bersama. Namun belakangan diseret kedalam ranah pencabutan peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri no 8 dan no 9 Tahun 2006.
“Ada tendensi gerakan politis yang ingin mencabut aturan yang sebenarnya dinilai mengatur rapih soal peribadatan,” ujarnya.
Amrullah mengatakan, peraturan itu sebenarnya bisa dipakai untuk menghindari benturan antar umat beragama. Namun implementasinya kadang tidak terlalu dimengerti oleh para kepala daerah.
“kalau aturannya dicabut, justru dikhawatirkan akan terjadi anarkisme,” ujarnya.
Hal yang sama juga dilontarkan koorinator Gerakan Peduli Pluralisme, Damien Dematra. Menurut dia, masyarakat perlu berhati-hati atas gerakan politisir dari peristiwa Ciketing yang merenggut korban.
“Akar masalah harus diurai lebih dalam,” kata Damien.
Menurut Damien, banyak versi kejadian yang beredar soal peristiwa Ciketing. Namun dia menyerahkan semua penyelidikan dan proses hukum kepada pihak kepolisian. Tujuannya menemui MUI adalah untuk meminta solusi dan langkah umat ke depan. “Semua pihak lupa untuk mendengar suara warga aslil Ciketing sendiri,” ujarnya. Seharusnya, kata dia, “justru warga sekitar tanah kosong itulah yang paling di dengar.”
Wakil Ketua MUI A Tambunan mengatakan, perlu diakui ada ketegangan hubungan antar umat beragama di Indonesia. Bahkan, ada beberapa informasi akan adanya gerakan besar terkait peristiwa Ciketing. “Semua pihak diharapkan berpikir jernih dan tidak bertindak yang merugikan banyak pihak,” ujarnya. (tempointeraktif.com, 18/9/2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar